Sejarah

Sejarah Pabrik Gula di Nusantara


Tebu sebagai penghasil gula telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Pada tahun 500 B.C., Mesopotamia dan Persia sudah menjadi penghasil penting dari gula tebu ini. Di Mesopotamia dan Persia sudah berkembang teknologi pemurnian gula. Kemudian, tebu menyebar ke seluruh wilayah Mediterania. Sekitar tahun 700 A.D. masyarakat Mesir berhasil mengembangkan teknologi proses pemurnian gula tebu, yang membuat gula ini makin populer. Sebelum Perang Salib, gula ini belum mencapai Eropa Utara. Kemudian Columbus-lah yang membawa tebu ke "Dunia Baru" dan sekaligus juga membawa petaka kemanusiaan, yaitu berkembangnya produksi massal dengan menggunakan para budak yang dibawa dari Afrika.

Dari tahun 1710 hingga 1810 telah didatangkan budak ke Barbados kepulauan di laut Karibia, misalnya, sebanyak hampir satu juta orang. Di Eropa konsumsi meningkat pesat. Di England dan Wales, dari tahun 1663 hingga tahrn 1775, konsumsi gula meningkat 20 kali lipat, lebih cepat daripada peningkatan konsumsi roti, daging, susu dan keju.

Dalam bahasa Sangsekerta tebu dinamakan "sarkara", dalam bahasa Arab disebut "sukar" dan dalam bahasa Latin dinamakan Saccarum oficinarum. Tanaman ini menyebar di Pasifik Selatan hingga Cina, India dan Indonesia, dan tentu saja di seluruh wilayah tropika. Produksi gula tebu ini mencapai sekitar 2/3 dari total produksi gula dunia.

Di Indonesia, gula tebu ini konon sudah ada sejak zaman Aji Saka. Ada cerita yang menunjukan bahwa pada jaman Majapahit, rakyatnya telah dapat mengolah tebu menjadi bahan pemanis dengan metode yang diajarkan oleh keturunan bangsa Cina. Pada zaman VOC gula sudah menempati posisi penting dalam barang perdagangan. Sebuah plakat tertanggal 7 Nopember 1637 menyatakan bahwa Gubernur Jenderal Van Diem berhasil memaksa Yang Kong,  pengusaha gula ternama di Jawa pada waktu itu, untuk menjual gula kepada VOC.

Cerita mengenai indutri Gula di Indonesia memang tidak bisa terlepas dari cerita sejarah kolonialisme. Juga berkaitan dengan sistem culturstelsel, kerja rodi kaum pribumi, perampasan tanah-tanah rakyat untuk perluasan kebun tebu dan berbagai kisah dramatis yang kemudian menginspirasi lahirnya karya-karya sastra bahkan juga sejarah nyata. Novel Tetralogi Pramudya Ananta Toer yang terkenal itu mengambil setting Pabrik Gula Toelangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Demikian pula pemberontakan Kyai Kasan Moekmin. Sementara legenda Sakerah yang populer menjadi cerita ludruk juga menceritakan konflik seputar kebun tebu dan Pabrik Gula di daerah Pasuruan, Jawa Timur. Ketika pulau Jawa pada awal abad ke XIX secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda, usaha penanaman tebu terus berlangsung. Penanaman tebu ini salah satunya di lembagakan oleh kebijakan culturstelsel  tersebut untuk memacu produksi Gula yang dimulai di tahun 1830. Daerah perkebunan tebu  selanjutnya tumbuh sejak tahun 1840-an  dan berkembang sampai abad berikutnya adalah daerah pesisir utara dari Cirebon hingga Semarang, di sebelah selatan Gunung Muria hingga Juwana, daerah kerajaan (Vorstenlanden), Madiun, Kediri, Besuki, di sepanjang Probolinggo hingga Malang melalui Pasuruan, dari Surabaya Barat Daya  sampai ke Jombang. Pada masa itu pengusaha swasta dari kalangan bangsa Cina dan Eropa juga mengusahakan tanaman tebu di sekitar Batavia  yang diikuti dengan pendirian pabrik-pabrik gula. Ketika sistem tanam paksa secara resmi berakhir pada tahun 1870 lebih banyak orang Jawa terlibat ke penanaman tebu, pelaku usahanya bergeser dari pemerintaha kolonial ke pengusaha swasta.
 
Angkutan Tebu & CT 1900
Sedemikian vitalnya posisi pabrik-pabrik gula di negeri ini sampai perlu ada balai penelitian tentang gula yang berdiri pada tanggal 9 Juli 1887 dengan nama Proefstation Oostjava (POJ) dan merupakan lembaga penelitian tebu/gula ketiga yang didirikan di Jawa, setelah yang pertama di Semarang dan kedua di Majalengka, Jawa Barat dan Setelah kemerdekaan RI, menjadi Balai Penyelidikan Perusahaan Perusahaan Gula (BP3G), yang sekarang lebih dikenal dengan nama Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, disingkat P3GI berlokasi di Pasuruan Jawa Timur. Juga ada bengkel besar dengan nama De Bromo di Pasuruan sebagai tempat pembuatan dan perbaikan peralatan pabrik, penyediaan suku cadang dan tempat perbengkelan mesin berat. Salah satu produk De Bromo yang terkenal dan kebanyakan masih dipergunakan hingga sekarang adalah timbangan nira jenis Boulogne.
 
ADM & Staf PG Kalibagor 1905
Walaupun cerita mengenai culturstelseel dianggap sebagai salah satu catatan hitam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, namun sejarah Industri Gula yang juga merupakan dari rangkaian kebijakan culturstelseel juga menyimpan kisah lain. Berkat keuntungan dari perdagang gula, beberapa kota di pulau Jawa berkembang pesat seperti kota pelabuhan Semarang dan Surabaya serta beberapa kota lainnya. Industri gula menyerap tenaga-tenaga terampil dari Eropa dan juga buruh-buruh pribumi. Berdasarkan sejumlah riset tentang sistem Tanam Paksa di Jawa, dikemukakan bahwa perkebunan tebu juga tidak  menyebabkan kehancuran terhadap kehidupan social ekonomi dan tatanan sosial di daerah pedesaan. Perkebunan tebu membawa pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan seluruh kelompok social di pedesaan (Van Niel, 2003) walaupun pertumbuhan ekonomi ini tidak di nikmati secara merata dan tergantung ke dalam berbagai lapisan sosial masyarakatnya. Industri ini juga membawa semacam aufklarung (pendidikan) ekonomi untuk daerah sekitarnya.

Antara pergantian abad dan ambang pintu zaman malaise yakni masa depresi ekonomi dunia pada awal 1930-an, perkebunan gula tetap makmur tetapi jumlahnya tidak meningkat malah lambat laun berkurang. Kemakmuran yang dinikmati oleh industri ini pada tiga dasawarsa permulaan abad ke 20  secara mendadak berakhir pada pernulaan tahun 1930 pada saat malaise atau depresi tersebut telah mencekam seluruh dunia yang juga menggilas produksi pulau Jawa terutama di pasar Hindia dan Cina. Kesulitan tersebut mendorong perusahaan gula mengambil langkah penyelamatan, yang sejalan dengan garis kebijakan pemerintahan yakni, memotong produksi serta luas lahan penanaman tebu.
 
PG Kandang Jati Pasoeroean 1900
Mengingat keuntungannya yang sangat besar, Belanda menanam modal dalam jumlah besar di bidang pergulaan ini. Mulai dari mendirikan pabrik-pabrik gula, irigasi untuk mendukung perkebunan tebu, hingga mendirikan pusat-pusat penelitian di bidang ini. Sebagai gambaran, pada tahun 1920 ekspor gula dari Jawa ini mencapai 2,9 milyar Gulden. Kita diwarisi oleh hasil daya cipta Belanda yang sangat baik di bidang ini

Kini pabrik gula telah dikelola oleh negara, melalui BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Banyak diantaranya yang telah mengembangkankan usahanya, melakukan diversifikasi usaha maupun tetap pada pakem  usaha industri gula seperti sebelumnya.
.
Dunia terus berputar dan bumi terus bergulir. Tebu anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa terus memberikan makna bagi kehidupan umat manusia. Gelombang kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah melahirkan situasi dunia baru yang sangat berbeda dengan situasi dunia pada masa lalu. Demikian pula di bidang pergulaan. Brazil dan Australia menjadi pendatang baru yang sangat kuat. Amerika Serikat dan Uni Eropa masih tetap bertahan melindungi pergulaan dalam negerinya. Bahkan Uni Eropa merupakan negara eksportir gula terbesar kedua dunia.
Tebu dengan segala produknya, mulai dari gula hingga sumber energi pengganti minyak bumi, tetap memancarkan harapan-harapan kehidupan baru pada masa mendatang. Sayang sekali, berkah Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat tropika ini, khususnya bagi Indonesia, belum dapat kita syukuri nikmatnya itu secara berarti. Kita tidak belajar dari sejarah sebagaimana yang telah diperlihatkan Belanda kepada kita. Bahkan terdapat kecenderungan kita ingin meniadakan nikmat itu dengan menggantungkan diri pada gula impor.

Apalah artinya kita memiliki potensi sumber daya alam yang memadai, pasar yang besar, dan tenaga kerja yang melimpah apabila kita tak mampu memanfaatkanrtya? Apalah makna leluhur kita pernah menjadi buruh paksa di kebun-kebun tebu dan pabrik-pabrik gula di masa lalu apabila kita tidak mampu mengembangkannya? Struktur pasar telah berubah drastis, dimana negara-negara berkembang sebagian besar telah menjadi net-importir, bersamaan dengan negara-negara maju mengurangi impor gulanya, dan India serta Cina berhasil memenuhi sebagian besar kebutuhan gulanya dari hasil dalam negeri, maka tidak lain situsasi ini hanyalah menekan kita untuk menjadi limpahan “residual market” bagi gula dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar